BLITARHARIINI.COM – Kota Blitar kembali menjadi sorotan publik setelah adanya pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap tenaga harian lepas atau honorer di Dinas Pemuda dan Olahraga (Dispora) dan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar).
DPRD Kota Blitar dengan tegas menolak PHK tersebut dan bahkan mengancam akan membentuk Panitia Khusus (Pansus) jika PHK tetap dilaksanakan.
Namun, sikap keras DPRD ini justru menimbulkan pertanyaan besar dari masyarakat. Pasalnya, pada masa lalu, tepatnya pasca Pilkada 2020, terjadi PHK massal yang jauh lebih besar, namun DPRD kala itu tidak menunjukkan reaksi sekeras sekarang.
Fakta PHK Massal Pasca Pilkada 2020
Setelah Pilkada 2020, Kota Blitar mengalami PHK massal yang berdampak pada ratusan tenaga honorer di berbagai dinas.
Data yang beredar menunjukkan jumlah tenaga honorer yang di-PHK mencapai 465 orang dari total 787 tenaga honorer di beberapa dinas, dengan persentase PHK yang sangat signifikan.
Beberapa rincian PHK massal tersebut adalah sebagai berikut:
- Dinas Lingkungan Hidup: 161 dari 295 orang (54,6%)
- Dinas Pariwisata dan Kebudayaan: 32 dari 45 orang (71,1%)
- Dinas Perhubungan: 26 dari 38 orang (68,4%)
- Dinas Pemuda dan Olahraga: 16 dari 31 orang (51,6%)
- Dinas Perindustrian dan Perdagangan: 40 dari 50 orang (80%)
- Bagian Umum: 10 dari 55 orang (18,2%)
- Satpol PP: 180 dari 273 orang (65,9%)
Jumlah ini jauh lebih besar dibandingkan PHK yang terjadi saat ini, yang hanya melibatkan puluhan tenaga honorer.
Perbedaan Sikap DPRD: Kini vs Dulu
Sikap DPRD Saat Ini
DPRD Kota Blitar menunjukkan sikap keras menolak PHK yang terjadi di Dispora dan Disbudpar. Mereka bahkan mengancam akan membentuk Panitia Khusus (Pansus) jika PHK tetap dilaksanakan.
Wakil Ketua Komisi 2 DPRD, Nuhan Eko Wahyudi, menegaskan, “Dari DPRD Kota Blitar merekomendasikan tidak ada PHK, tidak boleh dilakukan PHK.” DPRD juga telah memanggil dinas terkait untuk menindaklanjuti rekomendasi pembatalan PHK.
Sikap DPRD Pasca Pilkada 2020
Berbeda dengan sikap saat ini, PHK massal yang jauh lebih besar terjadi tanpa penolakan signifikan dari DPRD. Tidak ada pembentukan Pansus atau tindakan tegas lain yang diambil DPRD kala itu. PHK berjalan tanpa sorotan publik yang sama seperti saat ini.
Ketidakkonsistenan sikap DPRD ini menimbulkan pertanyaan serius tentang kredibilitas dan motif di balik penolakan PHK saat ini.
Masyarakat mulai mempertanyakan apakah sikap keras DPRD sekarang didorong oleh kepentingan politik tertentu, ataukah benar-benar untuk melindungi tenaga honorer.
PHK massal pasca Pilkada 2020 terjadi di masa transisi pemerintahan, yang mungkin membuat DPRD kurang berani bersikap.
Saat ini, dengan dinamika politik yang berbeda, DPRD lebih leluasa menunjukkan sikap kritis. Ada kemungkinan isu PHK ini dimanfaatkan sebagai alat politik untuk menekan pemerintah daerah atau dinas terkait.
Masyarakat mulai membandingkan situasi sekarang dengan masa lalu dan mempertanyakan mengapa PHK massal yang jauh lebih besar dulu tidak menimbulkan reaksi keras, sementara PHK yang jumlahnya jauh lebih sedikit saat ini menjadi isu besar.
Beberapa warga menilai DPRD bersikap selektif dan politis, bukan semata-mata berdasarkan kepentingan tenaga honorer.