BLITARHARIINI.COM – Salah satu momen paling menentukan dalam sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia terjadi di Blitar, Jawa Timur, pada 14 Februari 1945.
Saat itu, pasukan PETA (Pembela Tanah Air) di bawah pimpinan Soedancho Suprijadi melakukan pemberontakan besar-besaran terhadap pendudukan Jepang.
Peristiwa ini tidak hanya menjadi pemberontakan terbesar tentara bentukan Jepang di Indonesia, tetapi juga tonggak penting yang mempercepat kesadaran nasional menuju kemerdekaan.
Latar Belakang Pemberontakan: Kekejaman Jepang di Blitar
Sejak mengambil alih kekuasaan dari Belanda pada 1942, Jepang menerapkan kebijakan yang lebih represif. Rakyat Blitar dipaksa kerja romusha, mengalami kelaparan, dan mendapat perlakuan kejam dari tentara Jepang.
Pasukan PETA, yang sebenarnya dibentuk Jepang sebagai tentara cadangan, justru menyaksikan langsung penderitaan rakyat. Soedancho Suprijadi, seorang perwira PETA, bersama rekan-rekannya mulai merencanakan perlawanan.
Rencana Pemberontakan dan Peran Soekarno
Menurut buku biografi Cindy Adams, “Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia”, sebelum pemberontakan terjadi, Suprijadi dan beberapa anggota PETA sempat bertemu dengan Ir. Soekarno yang sedang berkunjung ke Ndalem Gebang, Blitar.
Dalam pertemuan itu, mereka membahas rencana pemberontakan. Namun, Soekarno tidak memberikan dukungan terbuka. Alasannya, ia lebih memilih mempertahankan PETA sebagai kekuatan militer yang suatu hari bisa digunakan untuk perjuangan kemerdekaan.
Aksi Pengibaran Bendera Merah Putih Pertama
Pada dini hari 14 Februari 1945, pasukan PETA di bawah Suprijadi melancarkan serangan terhadap markas Jepang di Blitar. Meski hanya berlangsung beberapa jam, aksi ini sempat membuat Jepang kewalahan.
Salah satu momen paling bersejarah adalah ketika Partohardjono, salah satu anggota PETA, mengibarkan bendera Merah Putih di depan asrama mereka. Ini menjadi pengibaran pertama Sang Saka Merah Putih di masa pendudukan Jepang.
Tiang bendera tempat pengibaran itu kini masih berdiri di Kompleks TMP Raden Widjaya, yang lebih dikenal sebagai Monumen Potlot.
Dampak dan Akhir Tragis Pemberontakan
Sayangnya, pemberontakan ini gagal. Jepang melakukan penangkapan massal terhadap anggota PETA yang terlibat. Hampir semua pejuang dieksekusi, kecuali Suprijadi yang menghilang secara misterius.
Meski gagal, pemberontakan ini membuka mata dunia bahwa rakyat Indonesia tidak mau lagi dijajah. Peristiwa ini juga mempercepat kesadaran nasional, yang puncaknya terjadi pada Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945.
Warisan Pemberontakan PETA dalam Sejarah Indonesia
Pemberontakan PETA Blitar menjadi inspirasi bagi perlawanan di daerah lain. Jepang mulai kehilangan kendali, dan dukungan internasional terhadap kemerdekaan Indonesia semakin kuat.
Setelah kemerdekaan, Soeprijadi secara anumerta diangkat sebagai Pahlawan Nasional. Namanya juga diabadikan sebagai nama jalan dan kesatuan militer.
Kesimpulan: Blitar sebagai Kota Pejuang
Blitar tidak hanya dikenal sebagai kota tempat makam Bung Karno, tetapi juga kota yang melahirkan perlawanan heroik terhadap penjajahan. Pemberontakan PETA 1945 adalah bukti bahwa rakyat Indonesia tidak pernah takut melawan penindasan.
Kini, Monumen Potlot dan Museum PETA di Blitar menjadi saksi bisu perjuangan mereka—pejuang yang berani melawan tirani, meski harus gugur sebagai pahlawan.