BLITARHARIINI.COM – Blitar, Jawa Timur, memiliki sejarah panjang sebagai wilayah yang gigih melawan penjajahan sebelum akhirnya resmi berdiri sebagai sebuah gemeente (kota praja) pada 1 April 1906.
Tanggal inilah yang kemudian ditetapkan sebagai Hari Jadi Kota Blitar, meski proses menuju pengakuan status kotanya sarat dengan perjuangan dan penderitaan rakyat.
Jatuhnya Blitar ke Tangan Belanda (1723)
Awalnya, Blitar merupakan sebuah kadipaten di bawah kekuasaan Kerajaan Kartasura Hadiningrat, dipimpin oleh Adipati Ariyo Blitar III atau yang dikenal sebagai Djoko Kandung.
Namun, situasi berubah pada tahun 1723 ketika Raja Amangkurat dari Kartasura memberikan Blitar kepada Belanda sebagai hadiah atas bantuan mereka dalam meredam pemberontakan, termasuk perlawanan dari Adipati Ariyo Blitar III yang berusaha merebut kekuasaan.
Keputusan ini mengakhiri status Blitar sebagai daerah pradikan (otonom) dan memasukkan wilayah ini ke dalam cengkeraman kolonial Belanda.
Rakyat Blitar pun mengalami penderitaan luar biasa penindasan, kerja paksa, dan perampasan hak-hak tradisional mereka.
Perlawanan Rakyat dan Pembentukan Gemeente Blitar (1906)
Tekanan kolonial yang kejam memicu gelombang perlawanan dari rakyat Blitar. Berbagai upaya dilakukan untuk mengusir Belanda, meski seringkali berakhir dengan kegagalan karena minimnya persenjataan dan organisasi.
Untuk meredam perlawanan, pemerintah kolonial Belanda akhirnya mengeluarkan Staatsblad van Nederlandche Indie Tahun 1906 Nomor 150 pada 1 April 1906, yang menetapkan pembentukan Gemeente Blitar.
Kebijakan ini sekaligus menandai perubahan status Blitar dari wilayah pedesaan menjadi kota administratif.
Pembentukan Gemeente Blitar tidak terlepas dari strategi Belanda dalam mengontrol daerah-daerah penting di Jawa. Pada tahun yang sama, beberapa kota lain juga dibentuk, seperti Batavia (Jakarta), Buitenzorg (Bogor), Bandoeng (Bandung), Semarang, Surabaya, dan Malang.
Perkembangan Blitar di Awal Abad ke-20
Pada tahun 1928, status Blitar ditingkatkan menjadi Kota Karisidenan dengan nama “Residen Blitar”. Pemerintah kolonial juga mengeluarkan Staatsblad 1928 Nomor 497 untuk memperkuat status hukumnya.
Dua tahun kemudian, tepatnya 1930, Kotapraja Blitar akhirnya memiliki lambang resmi yang menampilkan Gunung Kelud dan Candi Penataran dengan latar belakang warna kuning kecoklatan dan biru.
Pemilihan simbol ini bukan tanpa alasan Blitar sejak dulu identik dengan Gunung Kelud yang aktif dan Candi Penataran, salah satu peninggalan Majapahit terbesar di Jawa Timur.
Masa Pendudukan Jepang dan Perjuangan Menuju Kemerdekaan
Ketika Jepang mengambil alih kekuasaan dari Belanda pada 1942, status Gemeente Blitar berubah menjadi “Blitar Shi” (Kota Blitar).
Namun, pendudukan Jepang justru membawa penderitaan baru. Rakyat dipaksa kerja romusha, dan kelaparan melanda.
Namun, di tengah tekanan itu, muncul perlawanan heroik dari pasukan PETA (Pembela Tanah Air) pada 14 Februari 1945, yang dipimpin oleh Soedancho Suprijadi.
Pemberontakan ini menjadi salah satu aksi militer terbesar melawan Jepang di Indonesia dan menginspirasi semangat kemerdekaan.
Setelah proklamasi 17 Agustus 1945, Blitar segera menyatakan kesetiaannya kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Status hukumnya kemudian dikukuhkan melalui Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1945, yang mengubah nama “Blitar Shi” kembali menjadi Kota Blitar.
Warisan Sejarah yang Tetap Hidup
Kini, Blitar tidak hanya dikenal sebagai “Kota Proklamator” (tempat dimakamkannya Bung Karno), tetapi juga sebagai kota yang memiliki akarnya dalam perlawanan terhadap kolonialisme.
Monumen-monumen seperti Tugu Potlot (tiang bendera tempat pengibaran pertama Merah Putih oleh PETA) dan Candi Penataran menjadi saksi bisu perjalanan panjang kota ini.
Dari kadipaten yang direbut Belanda, hingga menjadi kota yang berjuang untuk kemerdekaan, sejarah Blitar adalah cerminan ketangguhan rakyat Indonesia melawan penjajahan.