Scroll untuk baca artikel
Blitar Hari ini

Lembu Suro: Blitar Dadi Latar Kediri Dadi Kali Tulungagung Dadi Kedung

×

Lembu Suro: Blitar Dadi Latar Kediri Dadi Kali Tulungagung Dadi Kedung

Sebarkan artikel ini
Lembu Suro: Blitar Dadi Latar Kediri Dadi Kali Tulungagung Dadi Kedung

BLITARHARIINI.COM – Kediri, Blitar, dan Tulungagung merupakan tiga wilayah yang kini menjadi saksi bisu jejak peristiwa alam yang dahsyat, dan dulunya pernah terdengar dalam sebuah kutukan legendaris yang diucapkan oleh makhluk setengah lembu bernama Lembu Sura.

Menurut cerita yang beredar di kalangan warga, Lembu Sura muncul pada masa akhir Kerajaan Majapahit, menantang seorang putri cantik untuk menerima lamarannya.

Putri itu, yang dalam versi‑versi berbeda dikenal sebagai Dewi Kilisuci, putri Jenggolo Manik, atau Dyah Ayu Pusparani—anak bungsu Raja Brawijaya menolak dengan tegas.

Penolakan tersebut memicu kemarahan sang Lembu Sura, yang kemudian menuntut sang putri membuat sebuah sumur dalam semalam sebagai tanda kesungguhan.

Ketika sumur tersebut tidak kunjung terisi, Lembu Sura melontarkan kutukan yang kini menjadi “sepatan” dalam catatan sejarah lisan.

Kata‑kata kutukannya terdengar lugas, hampir seperti ramalan geografis: “Kediri bakal jadi kali, Blitar jadi dataran, Tulungagung jadi kedung.” Artinya, Kediri akan berubah menjadi aliran sungai yang mengalir deras, Blitar menjadi dataran luas yang mudah dilanda banjir, dan Tulungagung menjadi lahan basah atau waduk yang menampung banyak air.

Pada saat itu, tak ada satupun penduduk yang menakar beratnya ramalan itu, namun seiring berjalannya waktu, alam tampaknya menuruti perkataan Lembu Sura.

Letusan dahsyat Gunung Kelud pada tahun 1586 menjadi titik balik historis yang menegaskan ramalan tersebut.

Letusan yang menewaskan lebih dari sepuluh ribu jiwa itu meluluhlantakkan wilayah‑wilayah di sekitarnya, termasuk Kediri yang kini dipenuhi sungai‑sungai kecil mengalir ke dataran.

Blitar, dengan dataran tinggi yang terbentang, mengalami erosi massal serta banjir musiman yang mengubah pola pertanian tradisional.

Sementara itu, Tulungagung mengalami pembentukan danau‑danau buatan serta waduk‑waduk penampung air untuk mengurangi dampak aliran deras, menjadikan wilayah itu secara literal “kedung”.

Seiring era berganti, letusan‑letusan selanjutnya—1919, 1966, 2007, dan 2014 menambah deretan catatan bencana yang menegaskan kembali pentingnya peringatan budaya tersebut.

Masing‑masing letusan menimbulkan aliran lahar, longsor, serta banjir bandang yang menguji ketangguhan masyarakat. Namun, pada abad ke‑20, pemerintah dan ilmuwan mulai mengembangkan infrastruktur mitigasi bencana.

Dibangun terowongan‑terowongan pengalir air, bendungan‑bendungan penahan, dan sistem peringatan dini, semua itu berupaya menjawab “kekhawatiran” Lembu Sura.

Kediri kini memiliki jaringan sungai yang diatur melalui kanal‑kanal buatan; Blitar memanfaatkan dataran untuk pertanian padi yang dilengkapi dengan saluran irigasi; Tulungagung mengoptimalkan waduk‑waduk sebagai reservoir air bersih serta sumber energi hidro.

Walau teknologi modern mengurangi dampak bencana, legenda Lembu Sura tetap hidup dalam benak warga sebagai “kode budaya” yang mengajarkan pentingnya kesiapsiagaan.

Setiap kali hujan lebat meneteskan awan kelabu di atas Kediri, penduduk masih mengingat peringatan sang makhluk setengah lembu.

Di sekolah‑sekolah lokal, guru‑guru menuturkan kisah itu sebagai pelajaran sejarah sekaligus pelajaran moral: menolak tantangan tanpa pertimbangan dapat memicu konsekuensi yang tak terduga, dan alam selalu memberi jawaban atas tindakan manusia.

Dalam konteks kontemporer, cerita Lembu Sura juga menjadi sumber inspirasi seni dan sastra. Seniman‑seniman memahat patung Lembu Sura di alun‑alun kota, menegaskan hubungan antara mitos dan identitas daerah.

Penulis‑penulis muda menulis novel‑novel fiksi sejarah yang menggabungkan fakta geologi dengan unsur‑unsur mitologis, menciptakan jembatan antara masa lalu dan masa kini.

Bahkan, festival budaya tahunan di ketiga wilayah tersebut menampilkan pertunjukan drama tradisional yang menghidupkan kembali kutukan itu, sekaligus memamerkan upaya mitigasi modern melalui pameran teknologi.

Akhirnya, legenda Lembu Sura mengajarkan bahwa sejarah, mitos, dan teknologi dapat bersinergi untuk menciptakan ketahanan.

Kediri, Blitar, dan Tulungagung kini bukan sekadar wilayah yang “dihukum” oleh kutukan, melainkan contoh nyata bagaimana masyarakat dapat belajar dari cerita lama, mengintegrasikannya dengan ilmu pengetahuan, dan membangun masa depan yang lebih aman.

Dengan mengingat setiap alur sungai, setiap dataran, dan setiap waduk, kita menghormati warisan budaya sekaligus menegaskan komitmen untuk melindungi bumi dari amukan alam yang tak terduga.