BLITARHARIINI.COM – Selama tiga jam, satuan Reserse Kriminal (Satreskrim) Polres Blitar berhasil mengamankan sembilan pelaku perundungan terhadap seorang remaja berinisial RIP (15), yang dipukuli secara brutal karena mengenakan jaket berlambang perguruan silat.

Insiden terjadi pada Senin (4/8/2025) pukul 00.30 WIB, dan menjadi sorotan publik setelah video kekerasan tersebut viral di media sosial.

“Motifnya karena korban memakai jaket perguruan padahal bukan anggota. Ini memicu kemarahan para pelaku,” kata Kasat Reskrim Polres Blitar, AKP Momon Suwito Pratomo.

Tiga pelaku Utama J (22), SBNH (19), dan GAP (20) ditangkap langsung, sedangkan enam pelaku yang masih berstatus pelajar SMP belum ditahan, namun mereka tetap masuk dalam penyidikan.

Polres Blitar melakukan penyitaan barang bukti, termasuk jaket merah berlambang perguruan, kaos hitam, celana pendek biru, serta dua motor.

“Kami memastikan semua bukti tersimpan rapi untuk proses hukum selanjutnya,” ungkap Momon.

Dari sudut hukum, pelaku dijerat Pasal 170 KUHP (penganiayaan) dan/atau Pasal 80 ayat (1) jo Pasal 76C UU Perlindungan Anak.

Ancaman pidana dapat mencapai 5 tahun 6 bulan penjara, menandakan keseriusan aparat dalam menindak perbuatan kekerasan terhadap anak.

Namun, kasus ini menimbulkan perdebatan tentang penegakan hukum terhadap pelaku remaja. Beberapa aktivis hak anak berpendapat bahwa penahanan terhadap pelaku pelajar SMP harus disertai pendekatan rehabilitatif, bukan semata‑pun hukuman penjara.

“Kita harus melihat akar masalah, yaitu budaya kekerasan dan kurangnya edukasi toleransi di lingkungan sekolah,” ujar seorang pengamat sosial dari Universitas Negeri Malang.

Di sisi lain, tokoh perguruan silat daerah menanggapi kerasnya tindakan kekerasan terhadap simbol mereka.

“Kami tidak menolak keberagaman, tapi penyalahgunaan simbol perguruan memang harus diusut,” kata Ketua Persaudaraan Silat Jawa Timur, H. Slamet.

Masyarakat Blitar sendiri tampak terbagi. Sebagian warga mengkritik cepatnya penyebaran video di media sosial yang memperkeruh situasi, sementara yang lain menilai tindakan polisi sudah tepat dan memadai.

“Semua orang harus belajar menghormati simbol, tapi tidak boleh lewat kekerasan,” kata seorang ibu rumah tangga di Alun‑alun Kanigoro.

Pemerintah Kabupaten Blitar berjanji meningkatkan program edukasi anti‑bullying di sekolah, serta menyiapkan unit kerja khusus yang mengawasi penggunaan simbol budaya dalam interaksi sosial.

“Kita perlu regulasi yang jelas tentang apa yang boleh dan tidak boleh dipakai oleh publik, terutama bagi simbol yang memiliki nilai tradisional,” jelas Bupati Blitar dalam pernyataan resmi.