BLITARHARIINI.COM – Sejarah pemberontakan Pembela Tanah Air (PETA) di Blitar, Jawa Timur, terjadi pada masa akhir pendudukan Jepang, yakni beberapa bulan sebelum kemerdekaan Indonesia.
Pemberontakan ini dipimpin oleh Supriyadi, seorang anggota PETA yang merasa resah atas penderitaan rakyat Indonesia akibat kebijakan Jepang, termasuk kerja paksa (romusha), pajak yang tinggi, serta perlakuan diskriminasi dan kekerasan dari tentara Jepang.
PETA sendiri dibentuk oleh Jepang pada 3 Oktober 1943 dengan tujuan membantu mempertahankan wilayah yang diduduki dari serangan Sekutu.
Pemberontakan PETA di Blitar mencapai puncaknya pada 14 Februari 1945. Nasib Supriyadi setelah pemberontakan menjadi misteri; beberapa sumber mengabarkan dia gugur dalam pertempuran atau hilang dalam pelarian, sementara pemerintah Indonesia setelah kemerdekaan menetapkan Supriyadi sebagai Pahlawan Nasional pada 9 Agustus 1975.
Latar Belakang dan Pembentukan PETA
Pada tahun 1942, Jepang mengambil alih wilayah Indonesia dari Belanda setelah Perjanjian Kalijati. Jepang kemudian membentuk organisasi militer semu seperti Heiho, Seinendan, dan PETA untuk melibatkan rakyat pribumi dalam upaya mempertahankan wilayah dari serangan Sekutu.
PETA (Pembela Tanah Air) berdiri pada 3 Oktober 1943, atas usulan tokoh Indonesia termasuk Gatot Mangkoepradja yang juga tokoh pergerakan nasional dan salah satu pendiri PNI bersama Sukarno.
Penyebab Pemberontakan di Blitar
Pemberontakan PETA di Blitar dilatarbelakangi oleh penderitaan rakyat akibat kebijakan Jepang seperti kerja paksa romusha, pajak berat, perampasan hasil pertanian, dan perlakuan kasar tentara Jepang terhadap perempuan Indonesia.
Di dalam tubuh PETA sendiri juga terjadi diskriminasi, di mana prajurit pribumi harus memberi hormat kepada tentara Jepang meskipun berpangkat lebih rendah. Supriyadi yang saat itu berpangkat shodancho memimpin pemberontakan sebagai wujud nasionalisme dan penolakan terhadap penindasan ini.
Nasib Supriyadi
Ketika Jepang meredam pemberontakan, Supriyadi menghilang. Versi sejarah tentang nasibnya bervariasi, ada yang menyebut dia gugur dalam pertempuran, tewas karena serangan binatang, atau berhasil bersembunyi tanpa pernah ditemukan.
Setelah proklamasi kemerdekaan, namanya sempat diumumkan sebagai Menteri Keamanan Rakyat oleh Soekarno, tetapi ia tidak pernah muncul dan digantikan oleh pejabat lain. Pada 9 Agustus 1975, pemerintah Indonesia mengangkat Supriyadi sebagai Pahlawan Nasional.